hakekat hidup

Hidup dapat didefinisikan dari dua aspek. Pertama, aspek biologis dan kedua, aspek sosiologis. Dari aspek biologis, hidup (al hayah) seperti diungkapkan oleh Ghanim Abduh dalam Naqdhul Isytirakiyah Al Marksiyah adalah sesuatu yang maujud (ada) dalam makhluk hidup (asy-syai`u al- qaa`im fi al- ka`ini al- hayyi). Dalam pengertian ini, hidup dipahami sebagai esensi yang membuat sesuatu menjadi hidup, yang membedakannya dengan benda-benda mati, baik benda itu benda mati secara asli, seperti batu, maupun benda mati dalam arti benda yang sebelumnya berasal dari benda hidup, seperti kayu. Hidup, dengan demikian, nampak dan eksis dengan berbagai tanda-tandanya, seperti kebutuhan akan nutrisi, gerak, peka terhadap rangsang, pertumbuhan, dan perkembangbiakan. Lawan dari hidup dalam pengertian biologis ini, adalah mati. Yakni tiadanya atau hilangnya tanda-tanda kehidupan pada sesuatu. Maka, batu adalah benda mati karena tak ada satu pun tanda-tanda kehidupan padanya. Demikian pula seseorang yang telah membujur kaku di kamar jenazah disebut telah mati, karena telah hilang darinya tanda-tanda kehidupan yang semula dimilikinya.

Secara sosiologis, hidup berkaitan erat dengan segala perbuatan manusia yang terwujud dalam seluruh interaksi yang dilakukannya. Ketika menerangkan pengertian isti`naful hayatil Islamiyah (melanjutkan kehidupan Islam), Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Manhaj Hizbu al-Tahrir, menyebutkan bahwa hidup (al-hayah) adalah seluruh interaksi yang dilakukan manusia (jami’u alaaqati al-nas). Dalam perspektif ini, hidup berarti menyangkut seluruh aktivitas manusia dalam berbagai macam interaksinya satu sama lain. Tatkala manusia melakukan aktivitasnya dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain, berarti dia telah melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Artinya, dia telah menjalani atau “mengisi” hidupnya.

Kebalikan dari hidup dalam pengertian ini, adalah tiadanya interaksi di antara manusia. Seseorang mungkin saja mengisolasi dirinya (beruzlah) dari masyarakat, atau bisa saja sebuah kota dibom sehingga seluruh penduduknya mati. Maka, kita dapat mengatakan bahwa orang yang beruzlah tadi telah “mati”, atau kota tadi telah “mati”, karena pada keduanya tak terdapat interaksi antar manusia yang menjadi pertanda adanya sebuah kehidupan.

Kendatipun pengertian hidup dapat dibedakan dalam arti biologis dan sosiologis, namun keduanya tak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab, hidup dalam arti biologis, adalah syarat bagi adanya hidup dalam arti sosiologis. Tak akan ada hidup dalam pengertian sosiologis, kecuali dengan adanya hidup dalam pengertian biologis. Meskipun mungkin saja terdapat hidup dalam makna biologis, tetapi tak terdapat hidup secara sosiologis.

Al Uqdatu al-Kubro : Pertanyaan Mendasar

Dalam hidupnya manusia sadar atau tidak, akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan ini, diistilahkan oleh Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitab Nidzamu al-Islam (1953) dengan al-Uqdatu al-Kubro. Secara harfiah, al-Uqdatu al-Kubro artinya adalah simpul yang besar. Pertanyaan mendasar ini berkisar tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan, yang ada dalam kehidupan dunia kini (al-hayatu al-dunya), juga mengenai apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya) dan sesudah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya), serta hubungan antara kehidupan dunia sekarang, dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia itu.

Dalam ungkapan lain, pertanyaan mendasar tersebut dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) pertanyaan utama. Pertanyaan pertama, “Darimanakah manusia, hidup, dan alam semesta ini berasal?” Apakah ketiga ini ada dengan sendirinya ataukah ada yang mengadakannya? Pertanyaan ini, sebagaimana uraian Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Al-Tafkir, berkaitan erat dengan fakta bahwa manusia itu hidup di alam semesta (li anna al-insaana yahya fi al-kaun). Maka wajar bila manusia menanyakan tentang dirinya, tentang hidup (dalam arti biologis) yang ada pada dirinya dan makhluk lainnya, dan tentang alam semesta yang merupakan tempat hidupnya. Pertanyaan pertama ini, menanyakan tentang hakikat apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya).

Pertanyaan kedua, “Untuk apa manusia hidup?” Pertanyaan ini berkaitan dengan fakta bahwa manusia telah lahir dan eksis di dalam kehidupan dunia ini (al-hayatu al-dunya). Sehingga wajar bila dalam benaknya muncul pertanyaan mengenai untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus menjalani hidup (dalam arti sosiologis). Dalam bahasa Hafizh Shalih dalam kitabnya An Nahdhah (1988), pertanyaan ini berhubungan dengan makna keberadaan manusia dalam kehidupan (ma’na wujudi al- insaan fi al-hayah).

Pertanyaaan ketiga, “Kemana manusia pergi setelah mati nanti?” Pertanyaan ini juga sangat wajar, karena setiap manusia pasti akan berjumpa dengan kematian. Dalam benaknya pasti terbit pertanyaan apakah setelah kematian berarti segala sesuatunya juga akan berakhir, ataukah justru kematian itu merupakan suatu pintu untuk memasuki fase kehidupan yang baru selanjutnya. Pertanyaan ini berkaitan dengan hakikat apa yang ada setelah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya).

Di samping ketiga pertanyaan utama tersebut, hal penting lain yang juga menjadi pertanyaan adalah adakah hubungan (‘alaaqah/shilah) antara apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya) dengan kehidupan dunia kini (al-hayatu al-dunya), serta hubungan antara kehidupan dunia kini (ba’da al-hayati al-dunya) dengan apa yang ada sesudah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya). Jika ada, hubungan apakah itu?

Tak ayal lagi, semua pertanyaan dalam simpul besar (al-uqdatu al- Kubro) itu memang merupakan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang memerlukan jawaban tuntas sebagaimana halnya simpul-simpul besar pada tali yang harus diuraikan terlebih dahulu agar tali itu dapat digunakan. Bila simpul besar ini berhasil diurai, seperti diungkapkan Taqiyuddin An Nabhani, niscaya simpul-simpul cabang berikutnya akan dengan mudah diuraikan. Simpul-simpul ini adalah pertanyaan-pertanyaan praktis yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari, semisal mengapa dan bagaimana kita harus bekerja mencari nafkah, bagaimana kita harus membina sebuah keluarga yang bahagia, bagaimana kita harus berpolitik dalam kehidupan bernegara, dan sebagainya.

Menghadapi pertanyaan mendasar dalam Al-Uqdatu al-Kubro yang sangat menguras pikiran itu, sikap manusia bermacam-macam. Ada yang lari atau tak acuh terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga akhirnya mereka menjalani hidup sekedarnya saja. Tanpa makna, tanpa visi, tanpa misi. Kosong dan absurd. Namun ada pula yang berhasil menjawabnya setelah berusaha mencari jawabannya dengan serius, terlepas dari benar tidaknya jawaban tersebut.

Jawaban-jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro ini menurut Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Dirasat fi al-Fikri al-Islami disebut dengan fikrah kulliyah (pemikiran menyeluruh) karena jawabannya mencakup segala sesuatu yang maujud (alam semesta, manusia, dan kehidupan) di samping mencakup ketiga fase kehidupan yang dilalui manusia, beserta hubungan-hubungan di antara ketiganya. Jawaban itu disebutnya juga sebagai aqidah (pemikiran yang mendasar) dan qa’idah fikriyah (landasan pemikiran). Disebut aqidah, karena memang jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro merupakan pemikiran yang mendasar. Dan disebut qa’idah fikriyah, karena jawaban itu merupakan basis pemikiran yang di atasnya dapat dibangun pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan.

Maka, jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro bisa beraneka macam, bergantung kepada aqidah (keyakinan) yang dianut seseorang. Di sini akan diuraikan jawaban dari sudut pandang keyakinan Islam dan sekulerisme, mengingat paham sekulerisme inilah yang kini merajalela di dunia, termasuk di dunia Islam, setelah sosialisme runtuh di penghujung tahun 80-an.

Jawaban Islam Terhadap Al-Uqdatu al-Kubro

Jawaban Islam terhadap al-Uqdatu al-Kubro bersumber Al Qur`an dan As Sunnah. Keduanya keduanya merupakan wahyu yang diturunkan Allah melalui Rasulullah Muhammad sebagai petunjuk hidup.